FILSAFAT ES BATU DAN GULA MANIS
Dimana
semua orang tahu, setiap minuman selain air putih pasti tidak meninggalkan satu
komposisi paling penting, bahkan bisa dinamakan komposisi tersebut adalah pokok
utama bahan minuman yang tidak mungkin untuk untuk dinafikan, ya dia adalah
gula manis. Kopi tanpa gula? Pahit!, The tanpa gula? Sepet!, susu tanpa
gula? Gurih!, dan silahkan sebutkan saja setiap minuman yang ada didunia baik
yang bermerk nasional atau internasional, yang tradisisonal atau yang modern,
pasti semuanya tidak akan meninggalkan yang satu itu, gula. Sekali lagi gula!
Lalu
bagimana jika berbagai minuman manis dan lezat tersebut diberi es batu/ es
balok? Hmmm…….pasti suegerr! Tapi selain kesegaran yang kita rasakan karena
sentuhan dingin sebuah es yang telah membasahi kerongkongan kita, apakah anda
tidak merasakan sesuatu? Sesuatu yang ganjil dari es batu. Ternyata es ketika sudah masuk dalam segelas juce
jambu manis,dengan egois, “ es” minta diletakkan didepan dalam penyebutan
komposisi minuman tersebut,jadilah dia “es juce jambu manis”. Tidak berhenti
pada juce jambu manis, teh manis, syirup jeruk dan lain- lain, ketika “es”
sudah nimbrung jadi satu dalam wadah, maka dengan semena- mena dia merubah
posisinya-yang asalnya es dimasukkan
terakhir setelah gula manis- tapi dalm kenyataannya “es”lah yqang selalu
disebut pertama kali, es the manis, es syirup jeruk, dan lain sebagainnya. Lho
kok gula tidak disebut sih,lalu dimana gulanya?gula tidak pernah ikut
disebutkan dalam setiap menu apapun, apakah anda pernah mendengar orang berkata
“mas, beli jucejeruk gula manis” cobalah berkata demikian, mungkin si penjual
akan berkata “emang gue jual syirup juce garam asin apa? Ya pastilah juce
manis!” padhal mari kita pikir apa jadinya jika kalo minuman juce alpukat
tanpa gula? Sedangkan es hanya sebagai pelengkap, padahal sebenarnya andai the
tanpa es juga tidak jadi masalah bukan? Bukankah the tanpa es,juga tidak
merubah cita rasa the tersebut? Tapi seperti tiulah gula, selalu ihklas memberi
tanpa minta imbalan apapun, bahkan sedikitpun tidak menampakkanpamrih, apalagi
protes pada “es” agar dirinyalah yang mendapat kedudukan penting dalam suatu
munuman
Terkadang tanpa kita sadari, ternyata
begitulah sebagian watak manusia, ketika terjadi ketimpangan falam siatu
organisasi atau negara misalnya, sebagian orang acuh tak acuh pada masalah
tersebut, negri terjajah dia sembunyi di balik kolong tempat tidur, membiarkan yang lain menderita, terlunta
lunta bahkanmeregang nyawa, tapi ketika telah merdeka, dia keluar rumah,
beraktifitas dengan menggebu- nggebu berjuang menaikkan taraf SDMnya,
setelah jaya dan mendapat “pangkat” dia mengisi kemerdekaan dengan
berbagai warna, mengatur negara sedemikian rupa, sehingga sehingga tampaklah
kemegahan sebuah kebebasan, bersinar- sinar bercahaya. Maka timbul ge-er dalam
dirinya bahwa dia lah yang berhak mendapat penghargaan karena telah mampu
menciptakan sebuah negri yang hebat! Dia
ingin selalu dinomor satukan, selalu
ingin dikedepankan, melupakanpara pejuang, menyisihkan para ulama’, padahal dia lupa, andai negri belum merdeka,
dapatkah dia berani dengan gagah berjalan diatas tanah negrinya? Hanya karena
sedikit perjuangannya saja, dia sudah
merasa layak untuk dinomorsatukan, padahal sadarkah dia? Dia hanyalah pengisi
kemerdekaan, sama seperti es yang posisinya
hanya penambah nikmat sebuah minuman ketika dinginnya membasahi
kerongkongan.
Maka
tinggalah pilihan ditangan kita, menjadi gula
yang ikhlas tanpa pamrih, ataukah” es” yang segar yang melupakan gula
yang selalu ingin ingin disebut diawal merk minuman? Jika yang kedua yang anda
pilih, mka sekali lagi saya akan bertanya, apa jadinya kalo “es Dawet”
tanpa gula?
Membunyikan Al-Qur’an
sebelum atau setelah membumikan Al-Qur’an?
اللهم اجعل القران لنا قي
الدنيا قرينا و في القبرمونسا و في القيمة شفيعا وعلي الصراط نورا وفي الجنة رفيقا
ومن النار سترا و حجابا
Hampir
15 abad sudah, Al-Qur’an diturunkan di bumi melalui malaikat Jibril pada
rasulullah sebagai multifungsi bagi kehidupan manusia, bahkan, sebagai amanat
yang berat hingga gunung yang begitu besar
dan perkasa tak sanggup menerima. Alih-alih manusia yang berakal sanggup
mengemban, Al-Qur’an terpoligami juga.
Teramat
jauhkah sudah jaraknya? Sehingga mereka menganggap Al-Qur’an tak sakral lagi,
bacaannya pun mulai beralih, bahkan, hampir tak terdengar. Parahnya lagi, banyak yang tidak bisa membedakan
antara Al-Qur’an dan koran ketika sama-sama dibaca dengan menggunakan tartil.
Sudah
selayaknya kini umat islam kembali mencari kebenaran Al-Qur’an sesuai dengan
ketika pertama kali diturunkan. Permasalahannya, siapakah yang mendengar bacaan
malaikat Jibril selain nabi Muhammad SAW. sedangkan para sahabatpun memiliki bacaan dan Mushaf yang berbeda(sebelum
adannya mushaf Utsmani) pada zaman rasulullah, apalagi masa sekarang, sudah
banyak sekali metode-metode pembelajaran Al-Qur’an yang bermacam-macam yang
intinya juga mencari kesesuaian dengan bacaan nabi. Namun bukanlah metode
permasalahannya, apapun metodenya yang penting adalah Al-Qur’an bacaannya. Dan
apakah bacaan Al-Qur’an kita sudah sesuai dengan standart dalam suatu metode
tertentu atau tidak? Yang menyedihkan lagi adalah keyika sudah banyak metode
–metode digelar, namun tak sedikitpun hatinya tergerak untuk sekedar melantunkan satu ayat saja dari
Al-Qur’an. Waktunya habis dengan kesibukan yang lain, lebih banyak membaca dan
bermain situs dalam dunia maya dari pada sekedar menyentuh mushaf. Inilah yang
disebut dengan AL-QUR’AN sudah di POLIGAMI.
Al-Qur’an memang sudah turun dibumi, Abi Quraish Shihab –pun juga sudah mengatakannya dalam bukunya “membumukan Al-Qur’an” namun- apalah artinya membumikan tanpa membunyikan dan menyuarakannya. Padahal Al-Qur’an diturunkan bukan untuk di simpan, dipakai hiasan dan di pakai sebagai MAS KAWIN akan tetapi perlu dan butruh untuk DIBACA serta DIAMALKAN sehingga Al-Qur’an bisa di bumikan.
Al-Qur’an
merupakan obat penenang hati, sumber rizki, referensi, teman akrab di dunia,
penenang dalam alam kubur, syafaat pada hari qiayamat, cahaya di siratal
mustaqim, teman di surga dan sebagai benteng dari api neraka. Lalu
bagaimana bisa menjadi teman di surga
jikalau di dunia tidak pernah dan belum
sempat mengenal. Lebih menyedihkan lagi ketika kita menemukan seorang santri
yang tidak punya Al-Qur’an pribadi, lantas dengan apa dia mengaji? Berapa ayat
tiap hari yang ia baca?atau tak sempat sama sekali? Bukan bermaksud menggurui,
namun bukankah AlQur’an memang penting UNTUK DIBACA.
Meski tulisan ini tak sebanding dengan
tulisan yang berada dalam buku “membumikan Al-Qur’an” namun cukuplah sebagai
apresiasi atas kondisi krisisnya lantunan Al-Qur’an. Betapa terharunya ketika
mendengar suara yang menyerupai lebah
yang ternyata itu adalah bacaan Al-Qur’an, apalagi ketika itu
terjadi di INKAFA sehingga tertulis
dalam ungkapan “pesarehan pindah di kampus” sebagaimana yang terjadi fakultas USHULUDDIN
beberapa waktu yang lalu sehingga bisa menjadi suatu kebanggaan. Sekali lagi bukan metode apa yang di pakai
namun apa yang dibaca. Yang terakhir tulisan ini bertujuan untuk bersama-sama
untuk berupaya dalam usaha membunyikan
Al-Qur’an di Bumi dan MEMBUMIkanya dengan mengamalkannya.