Rabu, 08 Februari 2012

madu

cerpen

Madu Tak Selalu Manis

Siapalah aku ini, tak pantaslah rasanya jika sekarang aku harus berada di sini, bersama syahdunya lantunan syair-syair cinta Arab, bersama diantara ramainya para undangan dan orang-orang yang sekedar menikmati lantunan group javin Latansa, bersama terangnya dan gemerlap lampu di tenda biru, bersama gerimis tipis dan hembusan angin malam. Dan… bersama dengannya duduk bersanding di pelaminan.

Dia, benar-benar istimewa bagiku. Aku mencintainya jauh sebelum dia mengatakan cinta padaku sebulan yang lalu. Tanpa sedikitpun dia tahu. Karena ku pikir tahupun dia dengan cintaku, takkan meluluhkan hatinya yang terkenal tangguh. Bersaing dengan para wanita lain, kurasa diriku tak mampu. Tapi begitulah jodoh.

“ Kamu tahu langit? Dan kamu tahu siapa yang disebut-sebut selalu dalam Al-Qur’an sebagai pasangannya? Bumi!! Padahal kamu tahu, masih banyak planet-planet yang lebih indah di banding dengan bumi, dan apa kamu bisa menghitung berapa jauh jarak antara bumi dan langit. Pikirkanlah”.

Itulah sepengal kalimat yang dia lontarkan padaku ketika ku katakana bahwa, aku bukanlah orang yang pantas menjadi pendamping, perawat pribadi dan permaisuri bagi dirinnya.

Aku hannyalah bagian dari serpihan kerajaan yang runtuh, dan dia adalah putra mahkota dari kerajaan dimasa dan zaman ini. Ah… aku hiperbol mungkin, tapi begitulah cinta., membuatku apayang ada pada dirinnya jadi mutira dan diriku hannyalah kerikil di pinggir jalan yang akan disingkirkan orang jika berani-berani menempatkan diri di tengah jalan dan akan dibuang begitu saja. Meski, demikian, aku juga kadang dimanfaatkan orang sebagai penguat bahan bangunan. Irupun jika aku bernasib beruntung disbanding dengan kerikil yang lebih besar dan kuat.

****

Aku masih belum bisa percaya, kini aku brada dalam satu ruangan dengan mas Afif yang kini telah resmi menjadi suamiku. Aku termenung diatas rajang menunggunya keluar dari kamar mandi. Sesaat dia keluar dan mangambik tempat disampingku. Seutas senyum indah terlukis dibibirnya unrukku.

“ Kalo capek tidur aja dulu” aku hannya membalasnya dengan senyuman pula. Sesaat suasana hening. Sepertinya dia paham, aku belum terbiasa dengan suasana seperti ini. Dia bangkit dari duduknya dan menuju pintu keluar. Aku merasa serba salah dan sedikit panic. Sebenarnya aku juga mau kok ngobrol-ngonrol. Tapi aku gak yahu bagaimana mengawalinya.

“ Mas..” dengan canggung akhirnya keluar juga suaraku. Perasaanku sedikit lega. Dia membalikkan badan.

“Ya.. kau butuh sesuatu.” dia nalik tannya. Aku masih sedikit gugup. Mas Afif diam dan menungguku

“Emmm… saya ingin bicara sesuatu.” Kembali aku bernafas lega. Pelan-pelan dia kembali duduk diatas ranjang. Dia berisyarat mempersilahkan untuk bisara

“Apa mas gak pingin kawin lagi?.” Dia terlihat terkejut “aku tahu banyak sekaliwanita yang ingin dan memimpikan hidup bersama mas.” Akku mulai berbicara itu lagi. Mas Afif membuang mukanya seperti sudah bosanmendengarnya. “ dan tentnuny aku jug thu bagaimana perasaan mereka ketika harus mengetahui dn menjalani taqdir untuk patah hati dan….” Kalimatku terhenti. Telunjuk kanan ma Afif menempel dibibirku.

“Dek, kalimat itu memang baik diucapkan oleh seorang istri. Tapi kurasa itu tidak perlu kau ucapkan padaku karena mungkin tidak akan berguna bagiku. Sudahlah sebaiknya kamu istirahat saja dulu yah.” Dia hamper bangkit dari duduknya sebelum kucegah dan dngan halus ku tarik lengan kanannya.

“Kumohon dengarkan perkataanku malam ini.” Dengan sedikit ragu akhirnya diapun duduk kembali. Kurasakan aroma melati yang segar meletup menusuk hidungku. Mas Afif mengangguk pasrah.

“Aku tak tahu bagaimana carannya aku bicara. Tapi aku harus rerap bicara. Aku tahu, aku punya banyak sekali kekurangan dan akupun tahu bannyak sekali wanita yng mungkin mas gak pernah mau tahu dan mereka lebih pantas bersamamu. Akku hannya tidak ingin didustai. Jika memang benar terjadi suatu hari nanti, mas harus memilih kembali untuk yang kedua, aku mohon jangan membohongi aku dengan menyembunyikannya dariku. Tapi mungkin aku akan mengajukan beberapa permintaan.” Aku melihat mas Afif tertawa dengan nada mengejek.

“Sudah ngomongnya?” dia kembali tersenyum. “sepertinya kamu sudah benar-benar cuapek malam ini.”

“Sebentar satu lagi” dia mengangkat kedua alisnya seakan menantangku. “kenapa mas memilih aku.”

“Ha…ha…” spontan tawanya kembali keluar. Nyaliku ciut. “kenapa sih dek, soal itu masih ditanyakan.

“Kenapa mas mencintaiku?.” Aku yakin sekali pertannyaanku kali ini adalah jawaban yang mungkin keluar dari pertannyaanku yang sebelumnya. Mas Afif mengeryitkan dahi dan terlihat srius. Sesaat suasana hening. Tiba-tiba aku terkejut dengan apa yang dilakukannya. Dia menatapku tajam dan mendekatkan wajahnya tepat didepan wajahku.

“Aku tidak bisa menjawabnya,” suarannya pelan dan lembut. “yang aku tahu, aku mencintaimu tanpa alas an atau sebab. Karena jika aku mencintaimu karena suatu alasan atau sebab maka cintaku akan hilang bersama hilangnya sebab. Jadi aku mencintaimu karena perasaan ini datangnya dari Allah. Dan cintaku akan hilang jika Allah telah mencabut nugrahnya dari kita dan yang ini semoga tidak akan pernah terjadi pada kita.” Senyuman indah mengakhiri kalimatnya.

***

Lebih dari empat pergantian musim mengiringi dan menyertai perjalanan kami. Semua berjalan dengan baik dan wajar. Wajar bila suami istri saling mencintai, wajar pula bila suatu ketika terjadi perselisihan. Mas Afif orangnya humoris tapi tegas. Sebagai seorang istri akupun mulai memahami watak dan perilakunya. Dan sebagai seorang istri aku tidak mungkin menceritakan kejelekannya. Yang pasti aku lebih banyk kekurangan. Itu yang kurasakan sejak awal. Meski begitu mas Afif akan mengatakan “kita adalah pasangan yang serasi.” Memang tidak ada kalimat yang lebih indah selain kata aku dan kamu berubah dan menyatu menjadi “kita”.

Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Apa yang kita nantikan tak kunjung dating. Mas Afif memintaku untuk mengurangi jadwal yang mungkin dinggapnya terlalu padat dan menganggap salah satu penyebab mengapa kami belum juga punya momongan. Akupun mencoba mengatur kegiatan. Biasanya aku harus berangkat pagi menuju gedung Instalasi pendidikan hingga pukul dua belas siang. Kemudian menuju butik yang sudah mengahasilkan sekitar empat buah cabang. Dan akan kembali pulang sekitar jam lima sore. Sedangkan mas Afif begitu pula. Dia harus kekampus selama satu minggu penuh dan pulang malam dan setelah itu “cuapek deh” akhirnya kita jarang bertemu.

Aku semakin terpojok ketika sanak kerabat dan temn-teman menanyakan keadaan kami ataupun hanya sekedar menggoda.

“Wah,awet banget yah,kok belum punya anak.”

Awalnya aku tidak mempermaslahkan semua itu. Tapi dengan seiring bergulirnya waktu, sebagai wanita lengkap sudah rasa ketidak pedeanku. Hingga pada malam itu kembali meski dengan hati yang sedikit berat kuucapkan tawaranku seperti apa yang pernah kukatakan sekitar dua tahun yang lalu. Perbincangn kami sempat memuncak meski pada kahirnya mas Afifd seperti biasa akan sanggup merekannya kembali.

“ Aku tidak pernah mempermaslahkan soal anak. Toh kita juga masih muda, ya sudahlah santai saja. Lagian kita nikah juga baru kemarin. Padahal ada juga mereka yang sepuluh tahun baru punya anak atau bahkan…”

“Apa mas mau menunggu sepuluh tahun baru punnya anak?” aku memotong kalimatnya yang belum selesai. Kmi terdiam sesaat. “iya, itukan menurut mas. Tapi bagaimana pndapat orangn disekitar kita. Mungkin saja Umi sebenarnya juga mendambakan cucu dari mas.”

“Tapi umi gak pernah juga membahas ke kamu soal itu.”

“Kita juga gak tahu. Mungkin saja gak bilang lanngsung ke kita.”

“Sudahlah jangn su’udzon dulu, lagian kamu gak usalah memperdulikan orang. Biarkn saja mereka bicara apa, yang penting aku… ngapain mendengarkan orang.”

“Ya gak bisalah mas.”

“Lha kenapa gak.”

“Yak arena mas anak laki-lakki satu-satunya dirumah ini.” Selain dikmu yng yang semoga dia husnul khotimah.

“ Trus kenapa? Kan sudah ada Vivi anaknya Zahra. Diakan cucu umi juga. Sebentar lagi Ita juga punya anak. Ya sudah tambah lagikan cucunya. Gak usah nunggu kita.”

“ Iya, tapi dari maskan belum” mas Afif bngkit dari duduknya.

“….trus kamu maunya gimana?.” Meski dengan lembut, tampak sekali kekesalannya padaku. Aku ikut bangkit dihadapannya.

“Sehrusnya umi punya menantu merempuan lagi selain aku.” Mas Afif diam menetapku tak bergeming. Entah apa yang dipilirkanny aku juga tak tahu. “Mas pahamkan maksudku?.”

“Kamu masih saja suka bermain-main dengan perasanmu.”

“Itulah sebabnya mengapa aku tahu bagaimana perasaan wanita pada umumnya.”

“Hah, kamu jangan sok tahu dek, apa kamu piker semua wanita sepertimu.”

“ Ya jelas tidak. Makanya mas pilih lagi yng beda denganku.”

“Kamu ini makin ngelantur saja..” wajah mas Afif memerah.

“Upst,” kali ini aku sudah salah diksi “maksudku…” aku panic ketika mas Afif keluar dengan langkahnya yang cepat meninggalkanku. Seketika itu juga aku mengejarnya. Kudapati dia dimeja dapur sedang mengambol aair dari dispenser dan seketik dihabiskannya air dalam gelas ukuran besar. Aku terkejut melihatnya. Mas Afif benar-benar marah. Dia mencoba meredam kekeslanya dengan menghindariku. Mas Afif mngisi kembali gelasnya yang sudah benar-benar kosong. Pelan-pelan kudekati dia dari belakang. Kupeluk dan kusandarkan kepalaku dipunggungnya. Kurasakan detak jantungnya yang naik turun dan kencang. Dia kembali meneguk air minum tanpa menghiraukanku tapi sudah dengan cara yang bebeda.

“Mas, langit telah menaungi bumi setiap sat tanpa jenuh.” Aku diam dan menikmati kekesalannya. Mas Afifpun maasih diam. “Bahkan langit memberikan sinar matahari untuk menghangatkan bumi.” Aku kembali melirik wajahny. Pelan-pelan mas Afif menaruh gelas mencoba menebak apalagi yang aku katakana padanya. “tapi, ingatlah mas, masih ada planet –planet lain yang juga membutuhkaan sinar matahari. Bahkan, langitpun memberikan dirinya untuk menaungi.”

Mtaku mulai panas sekaligus hatiku geli. Dia pasti tertawa jika tahu darimana aku mendapatkan kalimat itu. Sangat kontraversi sekali dengan keadaan yang sebenarnya. Dan biasanya mas Afif akan mengacak –acak kepal bahkan tatanan jilbabku. Itu hanya dilakukanya padakku. Yah hanya padaku.

Mas Afif membalikkan tubuhnya dan membalas peliukanku. Air mataku sudh membasahi kaos yang dia pakai.

“Subhnnallah…” desisnya pelan. Matanya terpejam dan kepalanya mendongak keatas. “aku tak habis pikir dengan ide gilamu.” Mas Afif menganngakat daguku dan menatap wajahku. “Baiklah, kau pilihkan satu lagi untukku.” Tanpa senyuman dia mencoba mencari sesuatu dimataku. Kebenaran htiku, keikhlasanku ah, yang pasti keruntuhn hatiku dan remuknya juga. Aku hanny tesenyum dn mengguk.

***

Hari itu terjadi juga. Kupilikan untuk mas Afif seorang yang kuanggap sebagai bintang yang lebih pntas bersanding dengan langit. Aku tahu di juga mencinti mas Afif sejak dulu. Aura istri kedua mas Afif yng kuanggap bukan bintang biasa. Dia adalah rembulan yang terng benderang bukn hannya wajahnya bahkan otaknya jug. Dia lebih tua dariku. Dia bias meringankan beban mas Afif dan keluarga yang memang membutuhkan seseorang yang seperti dia.

Aku semakin terpuruk ketika tau dalam jangka kurang dari tig bulan dia berhasil hamil. Jelas sudah permasalahan ada padaku bukan mas Afif. Berbagai rayuan dan bujukan bahkan kata-kata indah mas Afif tak mmpu menghibur hatiku. Meski dilur aku tampak biasa bahkan aku bias berbuat lebih dari sekedr yang orang lain pikirkan. Berikutnya jika aku sudah tak sanggup, aku akan menghindar dari kumpulan ornag-orang tanpa satupun dari mereka yng tahu. Kecuali mas Afif. Dia selalu tahu.

Tepat setelah sembilan bulan bayinya lahir. Perempuan. Afira namanya. Gabungan dari dua nama yang kuanggap tidak kreatif. Kembali aku harus thu diri. Dia lebih bnyak membutuhkan perhatian berlipat-lipat hususnya dari ibu mertua. Aku memintah pisah rumah. Tak ayal usulku membuat mas Afif kehilangan akal. Bukn cinta namanya jika keinginanaku tak dipenuhi. Satu buah rumah minimalis berhasil kudapat dari hasil kantongku sendiri. Krena, walau bgaimanapun mas Afif memint untuk menanggunng pembiayaan, aku berhasil menolaknya.

Secara dhohir mas Afif termasuk orang yang adil. Di akan mengunjungiku pada waktunya. Entah diadalamny. Buktinya, dia sering mencuri waktu untuk lebih sering dating kerumah bukan pada giliranku. Padahal, hampir setiap hari juga aku mengunjungi mereka. Meskipun sesunguhnya waktu pertemuan kami semakin terkurangi. Sejak itu, aku kembali menekuni butik-butik yang sempat sedikit terabaikan. Hingga suatu pgi ku sempatkan berkunjung kerumah setelah hampir dua minggu aku tak pernah mampir.

Kudapati suasana sepi setelah kumasuki rumah mlaui pintu belkng. Kutemukan mas Afif duduk diruang santai stelah kutelusuri hampir seisi ruangan. Belum sempat kuucapkan salam ms Afif sudah menangkap tubuhku didepan pintu. Seketika dia berdiri dan menatpku.

“Waduh sudah jadi wanita karir lupa deh sama suami. Gak ngerasa sudh bikin orang rindu setengah mati.”

Aku berjalan kearahny dan menggapai tangan sert mencium punggung dan telapaknya.

“Sepertinya Bumi sudah tak butuh lagi dengan langit untuk menaungi karena sudah banyak bangunan dan gedung yang tinggi ncukup untuk menghindari panas matahari.”

“Kenapa mas? Langitkan punya mentari yang selalu mengiringi dan masih punya bulan juga bintang yang bselalu menemani kalau langit sudah gelap.” Aku mulai lagi majas-majas yang sering mebuatnya kesal Sambil hendak meninggalkanya. Namun mas Afif masih enggan melepaskan genggamannya.

“bagaimana kalo langit sedang mendung” mas Afif mulai mengajak beradu. Dia menatapku nakal. “matahari,bulan dan bintang takkkan bergunakan?”

“Wah!.tambah bagusitu mas, biasanya setelah hujan langit akan tampak lebih terang.” Aku menjawab sekenannya.

“Tapi semuanya tak bisa mencegah jatuhnya air kebumi.”

“Apalagi bumi,dia hannya bisa menadah jatuhnya air dari langit tanpa bisa menghiburnya, sedangkan bulan dia menjadikan langit tanpak indah. Taburan bintang menjadikan makhluk bumi tak jemu-jemu menatap indahnya langit.”

“Mas Afif mendekatkan wajahnya hampir kurang dari satu centi meter didepan hidunngku.

“Tapi Rasulullah kekasih ALLAH tidak diturunkan di Bulan.” Hembusan aroma mint menerpa hidunngku. “kamu dengar wahai Bumi...? Nabi Muhammad adalah penduduk bumi dan beliaua hannya haannya berkunjung ke langit bukan ke Venus,Yupiter apalagi Pluto. Dia ...Di...BUMI.” dia masih menatap mataku. Aku kehilangan kata-kata kalah sepuluh kosong.

Kutarik lengan dan tubuhku ketika tahu ada seseorang wanita diujung sebrang kursi. Ku tak thu berapa lama sudah beliau disana. Ternyata aku tidak melihat ibu mertuaku yang juga duduk disana ketika aku pertama kali masuk. Mataku mengerjap-ngerjap malu.

“Aura sama Afira mana mas?.” Tanyaku sambil mencoba rileks.

“Pulang kemarin dijemput neneknya.” Mas Afif tersenyum penuh kemenangan.

***

Malam itu kembali aku mengunjungi Afira. Seperti biasa melalui pintu belakang langsung saja aku menuju kamar. Samar-samar aku mendengar suara. Tak enak rasanya jika aku langsung nyelonong. Dengan hati-hati kudekati pintu yang terbuka tapi tetap tertutup dengan gorden biru pink.

“ Mas, apakah mas mencintaiku sepenuh hati?.” Aku lebih mendekatkan tubuhku tepat didepan kain yang menjadi penghalang.

“Kenapa nggak?”

“Apa mas menikahikudengan terpaksa? Kalo Afwa gak nyuruh kawin lagi, apa mas nggak mau nikahi aku?.”

“Kamu ngomong apa sih?.”

“Sudah mas jawab aja.” Siempunya suara berkata dengan manja.

“Enggak juga, disuruh atau tidak, aku tetap mengawinimu.”

“Besar mana cinta mas padaku dibanding dengan Afwa?”

“Sama,mas nggak bedakan antara kalian berdua. Mas cinta sama Awfa juga sama kamu. Kenapa kamu nannya itu segala? Kalian berdua ibarat tangan kanan dan tangan kiri. Keduannya sama-sama mas butuhkan.”

“Nggak ada yang lebih?.”

“Nggak, tapi mas sanngat cinta sekali sama Afira. Terimah kasih ya sayang, kamu telah menjadikan aku sebagai seorang ayah.”

“Mas...”

“Ehm..”

“Aku mencintaimu...sangat..”

“Apa kamu pikir aku tidak?.”

“Katakan dong mas...”

“Aku mencintaimu dek Aura.”

Aku bukan Aisyah dalam tokoh AAC, juga bukan bunda Aiyah istri Rasulullah.aku manusia biasa, teramat biasa. Biasa sekali. Wajarkan jika perasaanku merajai akalku dan nafsuku. Aku menjahui pintu kamar menuju ruang tamu yang tengah gelap. Tumpah sudah air mataku. Tak mampu kutahan suara sesak dikerongkonganku hingga menimbulkan bunyi yang semakin membuatku sakit. Kubaca takbir bewrkali-kali dengan harapan meredahnya tangisku. Hinggah beberapa lam kepalaku mulai pusing. Memang ketika menangis aku selalu begitu.

Aku mulai mengurangu frekuensi nada tangisku dan mulai memijat kepalaku serta menghapus air mata. Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan mendarat diatas kepalaku. Aku tahu dia pasti datang. Tapi jangan secepat ini. Aku bvelum puas menangis. Dia duduk disampingku. Menarik dengan lembut kepalaku dan disandarkan didadanya. Alasan apa yang membuatnya keluar hingga menemuikanku disisni. Mengapa dia seakan bisa merasakan kehadiranku.

“Kenapa, cemburu.....?” selalu itu yang ia katakan padaku kareana pasti jawaban yang keluar dariku adalah kata tidak atau sekedar gelengan kepala. Mana pernah dia bertanya pada Aura, tanpa ditanya saja sudah kelihatan.

“Kali ini kamu bohong.” Lanjutnya. Aku mendongak. Bohong gimana?, lha wong saya belum jawab apa- apa kok.

“Sudah Mas, aku nggak papa kok. Mas kembali aja, ntar aku nyusul.” Aku bangkit dari sandaran yang sebenarnya masih berat kulepas.

“Kira bareng yuk.”

“Nggak mas malu kalo ketahuan habis nangis.” Dia tertawa lirih

“Mana? Nggak kok! Malah tambah cantik kalo habis nangis.” Meski aku tahu kalo itu bohong tetap saja aku senang. Setelah lama mas Afif membujukku akhirnya aku bangkit menuju kamar mandi untuk membasuh muka dan mengikutinya berjalan menuju kamar. Kudapati ibunya Aura didalam kamar. Dan aku menyapanya dengan ekspresi biasa saja seperti tidak terjadi apa- apa padaku. Memang sebenarnya tidak terjadi apa- apa kecuali hatiku yang baru saja kena gempa.

“Hallo Afira sayang, ikut bunda yuk!.” Sambil kupinta Afira dari pangkuan Aura. Dia tersenyum saja dan memberikannya padaku.

“Ayo kapan giliran kamu Afwa. Jangan sampai gak ada yang mendoakan kamu kalo sudah mati.” Suara tua itu terasa panas ditelingaku. Meski aku tahu beliau sedang mengajakku bercanda.

“Tenang saja mi, Afwa akan nyusul Aura bentar lagi. Lagian Afira akan menjadi anak yang berbakti yang akan mendoakan kedua uminya dan abahnya, dan tentunya akan mendoakan neneknya terlebih dahulu kalau mati sebelum kita. Iyakan Afira?.” Mas Afif mengakhiri ucapannya dengan mencium Afira yang berada ditanganku. Aku tertawa terbahak-bahak dalam hati, enak saja dia bicara.

***

Semilir angin sore membawa suasana lain. Bersama wangi bunga Gading yang masih berada ditangkainya. Kami bertiga duduk dibawah pohon Gading yang siap panen. Aku memandangi jagoanku yang sedang terlelap pulas dipangkuanku. Dia cowok. Dengan secangkir teh hangat mas Afif menemaniku.

“Mas seandainya kita tahu bakalan punya anak, apa mas juga kawin lagi?.” Dengan terus terang kuajukan pertannyaan yang inrinya sama dengan pertanyaan Aura ketika kudengar dulu.

“Memang aku sudah bilangkan dari dulu. Kamu gak usah terlalu mikir nanti kalau sudah waktunya juga pasti punya sendiri. Kamu juga yang nyuruh.”

“Berarti kalo gak disuruh gak kawin?.’

“Ha...ha... kenapa? Nyesel?.” Aku manyun. Dia kembali mengacak-acak kepalaku. “dengerin yah. Disuruh ataupun tidak, aku tetap akan kawin sama Aura.” Aku mengernyutkan dahi. “Eits. Jangan su’udzon dulu.” Mas Afif mengambil posisi mengahadap wajahku. “Meskipun tidak diminta, aku pasti akan menikahinya, karena itu sudah menjadi taqdirku. Iru semua sudah tertulis sejak kita belum lahir. Iya kan?. Dan yang ini perlu digaris bawahi. Seorang laki-laki yang baik yang menikah lagi, bukan berarti dia tudak mencintai istrinya yang pertama. Ini aku ngomong dari bahasa kaumku lho ya.” Aku mangut-mangut. “Akuk juga tidak mengajarkan pada kaum hawa untuk terlalu bersimpati dengan sesamamu juga jangan terlalu egois. Artinya, jika ini sudah menjadi taqdir ya sudah terimah saja,daripada dicerai atau backstreet.” Mas Afif tertawa lagi. “Ohya satu lagi.” Mas Afif mendekat dan setengah berbisik. “Laki-laki tidak suka wanita posessif.” Aku meninju lengannya. “Sampaikan ya pada kaummu.”

“Inikan pembelaan dari kaum mas saja. Enak saja. Wanita mana yang mau dimadu?.’

“Lha ini..” telumjuknya berada diatas kepalaku. “gak pernah cemburu ha...ha...”

“Siapa bilang.” Memang kalau sekedar dengan Aura saja bukan masalah. Yang paling aku cemburui sebenarnya mereka bidadari surga yang sedang menanti dan yang akan menemanimu besok. Sudah itu saja.

By: Rif”ah Azera

Terimakasih atas kesempatannya, mohon dikirim informasi diterimah atau tidak, melaui E_mail kami

Tidak ada komentar:

Posting Komentar