MENGISI HARI TUA BERSAMA BUBUR SAGU
Pagi
masih berkabut setelah diguyur hujan semalaman, jalan – jalan digang pesantren
Mambaus Sholihin terlihat becek, tapi tidak membuat langkah Taslikah terhenti
untuk menjajakan dgangannya. Nenek berusia tujuh puluh empat tahun itu masih
berjalan tegap setapak demi setapak menyusuri jalan sambil menenteng dua
keranjang plastik berisi bubur sagu.
Beberapa saat
setelah duduk ditempat biasa Ia mangkal, muncullah beberapa anak mengerubungi
keranjang plastic untuk membeli bungkusan kecil seharga limaratus rupiah
perbungkus, dengan cekatan Taslikah melayani tiap pembeli. Itulah aktifitasnya
tiap pagi ditengah perjungannya menantang tua yang tak pernah menyerah untuk
terus berjalan maju mendekati dan menghabiskan sedikit – demi sedikit usianya.
Jika kebetulan buburnya kurang laku jual,
maka akan datang beberpa “rekan kerjanya” dari kalangan pengurus pondok
untuk ikut membantu menjajakan bubur- bubur tersebut. Settiap harinya nenek
tersebut mampu memproduksi empat ratus bungkus untuk dijual dipesantren putr
Mambaus Sholikhin, ia bagi dua kranjang plastiknya itu dengan dua jenis bubur,
satu keranjang berisi bubur sagu dan satu keranjang berisi bubur mutiara.
Ibu beranak satu
itu mulai berjualan bubur diareal musholla pesantren kira –kira satu tahun yang lalu. Ia mememulai
aktifitas dalam proses pembuatan buburnya sejak pukul dua mlam, kemudian ia
bungkus bubur- bubur tersebut dengan kertas Koran bekas dan kertas minyak, kemudian baru setelah solat
subuh ia berngkat seorng diri dari desa Pongangan bersama angkutn umum menuju
desa Suci. Sebagai seorang wanita yang berjiwa mandiri, dia tidak pernah
brhenti untuk berjuang menghidupi keluargnya. Semenjak suaminya meninggal
sekitar tahun seribu sembiln ratus sembilan puluh dan saat itu anak semata
wayangnya masih baru saja duduk si bangku SMA, maka sejak saat itu dia harus
banting tulang untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya. Beberapa macam usaha telah ia
lakukan hanya untuk sekedar “mengantar” putrinya itu memperoleh ijazah SMA, mulai dari menenun sampai merelakan rumahnya
untuk “dibagi “bersama anak- anak karyawan
pabrik, rumah sedarhana yang terletak dibelakang SMP Negri Gresik itu
terpaksa ia sewakan sebagai tempat kos para karyawan pabrik yang ada disekitar
tempat tingglnya “lumyan biasa buat nyekolahin anak sampe tamat sekolah
“ ucapnya mengenang
Namun meski hari ini masa sulit itu telah berlalu , dan
dia harus terpaksa merasa “legawa” dengan hanya bisa menyekolahkan anaknya
sampai tamat sekolah menengah atas, tapi semangat dan tanggung jawabnya sebagai
seorang ibu serta perasaan sebagai tulang punggung kelurga belum juga surut.
Meski kini putrid semata wayangnya itu sudah bisa memeeroleh penghasilan
sendiri, tapi tangannya masih belum mau
berhenti untuk sekedar memperoleh beberapa lembar uang kertas. Kenapa diusianya yang begitu lanjut dan hidup disisi
anak tercinta yang juga sudah mapan itu dia tidak memilih duduk manis saja
sambil menanti cucu? Dan lebih memilih berjualan bubur yang labanya tidak
seberapa itu?” awakmu iki ora weroh rumah tangga kebutuhane akeh, luwih akeh
metune tinimbang melbune, yen aku loroh mosok aku njaluk duwek anakku?” (kamu
itu tidak tahu rumah tangga kebutuhannya banyak, pengeluarannya lebih banyak
dari pada pemasukannya, jika aku sakit, masak aku minta uang pada anak) ucapnya
sambil tersenyum memperlihatkan bibirya yang keriput.
Juara II lomba “Desain
grafis dan Menulis berita feature” dalm rangka “Memperingati hari Bumi” di
Fakultas Dakwah –Institut Keislaman Abdullah Faqih(INKAFA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar