Sabtu, 24 Maret 2012

filsafat "es batu dan Gula manis"

FILSAFAT ES BATU DAN GULA MANIS
          Dimana semua orang tahu, setiap minuman selain air putih pasti tidak meninggalkan satu komposisi paling penting, bahkan bisa dinamakan komposisi tersebut adalah pokok utama bahan minuman yang tidak mungkin untuk untuk dinafikan, ya dia adalah gula manis. Kopi tanpa gula? Pahit!, The tanpa gula? Sepet!, susu tanpa gula? Gurih!, dan silahkan sebutkan saja setiap minuman yang ada didunia baik yang bermerk nasional atau internasional, yang tradisisonal atau yang modern, pasti semuanya tidak akan meninggalkan yang satu itu, gula. Sekali lagi gula!
          Lalu bagimana jika berbagai minuman manis dan lezat tersebut diberi es batu/ es balok? Hmmm…….pasti suegerr! Tapi selain kesegaran yang kita rasakan karena sentuhan dingin sebuah es yang telah membasahi kerongkongan kita, apakah anda tidak merasakan sesuatu? Sesuatu yang ganjil dari es batu. Ternyata  es ketika sudah masuk dalam segelas juce jambu manis,dengan egois, “ es” minta diletakkan didepan dalam penyebutan komposisi minuman tersebut,jadilah dia “es juce jambu manis”. Tidak berhenti pada juce jambu manis, teh manis, syirup jeruk dan lain- lain, ketika “es” sudah nimbrung jadi satu dalam wadah, maka dengan semena- mena dia merubah posisinya-yang  asalnya es dimasukkan terakhir setelah gula manis- tapi dalm kenyataannya “es”lah yqang selalu disebut pertama kali, es the manis, es syirup jeruk, dan lain sebagainnya. Lho kok gula tidak disebut sih,lalu dimana gulanya?gula tidak pernah ikut disebutkan dalam setiap menu apapun, apakah anda pernah mendengar orang berkata “mas, beli jucejeruk gula manis”  cobalah berkata demikian, mungkin si penjual akan berkata “emang gue jual syirup juce garam asin apa? Ya pastilah juce manis!” padhal mari kita pikir apa jadinya jika kalo minuman juce alpukat tanpa gula? Sedangkan es hanya sebagai pelengkap, padahal sebenarnya andai the tanpa es juga tidak jadi masalah bukan? Bukankah the tanpa es,juga tidak merubah cita rasa the tersebut? Tapi seperti tiulah gula, selalu ihklas memberi tanpa minta imbalan apapun, bahkan sedikitpun tidak menampakkanpamrih, apalagi protes pada “es” agar dirinyalah yang mendapat kedudukan penting dalam suatu munuman
         
Terkadang tanpa kita sadari, ternyata begitulah sebagian watak manusia, ketika terjadi ketimpangan falam siatu organisasi atau negara misalnya, sebagian orang acuh tak acuh pada masalah tersebut, negri terjajah dia sembunyi di balik kolong tempat tidur,  membiarkan yang lain menderita, terlunta lunta bahkanmeregang nyawa, tapi ketika telah merdeka, dia keluar rumah, beraktifitas dengan menggebu- nggebu berjuang menaikkan taraf  SDMnya,  setelah jaya dan mendapat “pangkat” dia mengisi kemerdekaan dengan berbagai warna, mengatur negara sedemikian rupa, sehingga sehingga tampaklah kemegahan sebuah kebebasan, bersinar- sinar bercahaya. Maka timbul ge-er dalam dirinya bahwa dia lah yang berhak mendapat penghargaan karena telah mampu menciptakan  sebuah negri yang hebat! Dia ingin selalu dinomor satukan,  selalu ingin dikedepankan, melupakanpara pejuang, menyisihkan para ulama’,  padahal dia lupa, andai negri belum merdeka, dapatkah dia berani dengan gagah berjalan diatas tanah negrinya? Hanya karena sedikit perjuangannya saja,  dia sudah merasa layak untuk dinomorsatukan, padahal sadarkah dia? Dia hanyalah pengisi kemerdekaan, sama seperti es yang posisinya  hanya penambah nikmat sebuah minuman ketika dinginnya membasahi kerongkongan.
          Maka tinggalah pilihan ditangan kita, menjadi gula  yang ikhlas tanpa pamrih, ataukah” es” yang segar yang melupakan gula yang selalu ingin ingin disebut diawal merk minuman? Jika yang kedua yang anda pilih, mka sekali lagi saya akan bertanya, apa jadinya kalo “es Dawet” tanpa gula?














Membunyikan Al-Qur’an sebelum atau setelah membumikan Al-Qur’an?
اللهم اجعل القران لنا قي الدنيا قرينا و في القبرمونسا و في القيمة شفيعا وعلي الصراط نورا وفي الجنة رفيقا ومن النار سترا و حجابا                              
          Hampir 15 abad sudah, Al-Qur’an diturunkan di bumi melalui malaikat Jibril pada rasulullah sebagai multifungsi bagi kehidupan manusia, bahkan, sebagai amanat yang berat hingga gunung yang begitu besar  dan perkasa tak sanggup menerima. Alih-alih manusia yang berakal sanggup mengemban, Al-Qur’an terpoligami juga.
          Teramat jauhkah sudah jaraknya? Sehingga mereka menganggap Al-Qur’an tak sakral lagi, bacaannya pun mulai beralih, bahkan, hampir tak terdengar. Parahnya  lagi, banyak yang tidak bisa membedakan antara Al-Qur’an dan koran ketika sama-sama dibaca dengan menggunakan tartil.
          Sudah selayaknya kini umat islam kembali mencari kebenaran Al-Qur’an sesuai dengan ketika pertama kali diturunkan. Permasalahannya, siapakah yang mendengar bacaan malaikat Jibril selain nabi Muhammad SAW. sedangkan para sahabatpun  memiliki bacaan dan Mushaf yang berbeda(sebelum adannya mushaf Utsmani) pada zaman rasulullah, apalagi masa sekarang, sudah banyak sekali metode-metode pembelajaran Al-Qur’an yang bermacam-macam yang intinya juga mencari kesesuaian dengan bacaan nabi. Namun bukanlah metode permasalahannya, apapun metodenya yang penting adalah Al-Qur’an bacaannya. Dan apakah bacaan Al-Qur’an kita sudah sesuai dengan standart dalam suatu metode tertentu atau tidak? Yang menyedihkan lagi adalah keyika sudah banyak metode –metode digelar, namun tak sedikitpun hatinya tergerak  untuk sekedar melantunkan satu ayat saja dari Al-Qur’an. Waktunya habis dengan kesibukan yang lain, lebih banyak membaca dan bermain situs dalam dunia maya dari pada sekedar menyentuh mushaf. Inilah yang disebut dengan AL-QUR’AN sudah di POLIGAMI.

          Al-Qur’an memang sudah turun dibumi, Abi Quraish Shihab –pun juga sudah mengatakannya dalam bukunya “membumukan Al-Qur’an” namun- apalah artinya membumikan tanpa membunyikan dan menyuarakannya. Padahal Al-Qur’an diturunkan  bukan untuk di simpan, dipakai hiasan dan di pakai sebagai MAS KAWIN akan tetapi  perlu dan butruh untuk DIBACA serta DIAMALKAN sehingga Al-Qur’an bisa di bumikan.
          Al-Qur’an merupakan obat penenang hati, sumber rizki, referensi, teman akrab di dunia, penenang dalam alam kubur, syafaat pada hari qiayamat, cahaya di siratal mustaqim, teman di surga dan sebagai benteng dari api neraka. Lalu bagaimana  bisa menjadi teman di surga jikalau di dunia tidak pernah  dan belum sempat mengenal. Lebih menyedihkan lagi ketika kita menemukan seorang santri yang tidak punya Al-Qur’an pribadi, lantas dengan apa dia mengaji? Berapa ayat tiap hari yang ia baca?atau tak sempat sama sekali? Bukan bermaksud menggurui, namun bukankah AlQur’an memang penting UNTUK DIBACA.
          Meski tulisan ini tak sebanding dengan tulisan yang berada dalam buku “membumikan Al-Qur’an” namun cukuplah sebagai apresiasi atas kondisi krisisnya lantunan Al-Qur’an. Betapa terharunya ketika mendengar suara yang menyerupai lebah  yang ternyata itu adalah bacaan Al-Qur’an, apalagi ketika itu terjadi  di INKAFA sehingga tertulis dalam ungkapan “pesarehan pindah di kampus”  sebagaimana yang terjadi fakultas USHULUDDIN beberapa waktu yang lalu sehingga bisa menjadi suatu kebanggaan.  Sekali lagi bukan metode apa yang di pakai namun apa yang dibaca. Yang terakhir tulisan ini bertujuan untuk bersama-sama untuk berupaya  dalam usaha membunyikan Al-Qur’an di Bumi dan MEMBUMIkanya dengan mengamalkannya.





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar